Sejarah nama Indonesia
Nama
"Indonesia" berasal dari berbagai rangkaian sejarah yang puncaknya
terjadi di pertengahan abad ke-19. Catatan masa lalu menyebut kepulauan di
antara Indocina dan Australia dengan aneka nama, sementara kronik-kronik bangsa
Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut
Selatan"). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini
Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari
kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah
Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri
Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas",
diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Nama "Indonesia" berasal dari dua kata Yunani yaitu, Indus (Ἰνδός)
yang berarti "India" dan kata Nesos (νῆσος) yang berarti
pulau/kepulauan, maka "Indo-nesia" berarti "kepulauan
India".
Bangsa
Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa).
Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi
("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari
batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari
ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang
Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa
Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi),
dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa").
Bangsa-bangsa
Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang
Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas
antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka
sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia
Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia
(Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur
(Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai
adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago,
l'Archipel Malais). Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki
nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang
1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya
di kepulauan ini.
Eduard
Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah
memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu
"Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam
bahasa Latin "insula" berarti pulau). Nama "Insulinde" ini
selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan
organisasi pergerakan di awal abad ke-20.
Nama
Indonesia
Pada
tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the
Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia
dan Asia Timur"), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869),
seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh.
Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel
Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam
JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading
Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations
("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan
Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba
saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki
nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering
rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama:
Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti
"pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke
Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):
"
Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi
"Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia".
Earl
sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada
Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu,
sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat
itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat
juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu
Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah
Indunesia.
Dalam
JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis
artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan
Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas
bagi kepulauan yang sekarang dikenal sebagai Indonesia, sebab istilah Indian
Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan.
Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u
digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah
Indonesia. Dan itu membuktikan bahwa
sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah
Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di
Eropa.
Untuk
pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254
dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):
"Mr
Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya
dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni
"Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau
Hindia atau Kepulauan Hindia"
Ketika
mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di
kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara
konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan
ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para
ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada
tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian
(1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen
Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak
lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu
pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah
"Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul
anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang
tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van
Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah
"Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi
yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi
Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913
ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama
Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan
sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van
Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti
dengan Indonesiër ("orang Indonesia").
Politik
Pada
dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah
dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan
kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki
makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan.
Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian
kata ciptaan Logan itu.
Pada
tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool
(Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia
di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging)
berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia.
Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung
Hatta menegaskan dalam tulisannya,
"Negara
Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat)
mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia"
saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama
Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena
melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk
mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala
tenaga dan kemampuannya."
Di
Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun
itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis
Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan
Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah
air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama
"Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa
pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini
dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada
bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia
Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo
Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië
diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan
ini ditolak. Sementara itu, Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan pada tahun
yang sama mencantumkan lema nusantara sebagai bahasa Kawi untuk "kapuloan
(Indonesiah)".
Dengan
pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia
Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi
Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.
Linguistik
Sebelum
bahasa Indonesia ditahbiskan menjadi bahasa persatuan pada Sumpah Pemuda, maka
sejumlah linguis Eropa telah menggunakan istilah "bahasa Indonesia"
alih-alih "bahasa Melayu" untuk menyebut bahasa yang dipertuturkan di
Indonesia, terutama setelah terlihat percabangan pembakuan bahasa yang
dipertuturkan di kedua wilayah tersebut pada awal abad ke-20. Pada tahun 1901,
Hindia Belanda (kelak menjadi Indonesia) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen,
sedangkan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari
Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen
diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen,
dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Salah
satu linguis yang memopulerkan nama bahasa Indonesia adalah linguis Swis,
Renward Brandstetter (1860-1842), yang dikenal sebagai pencetus teori akar
bahasa Austronesia. , yang sejak 1908 mulai menyebut dirinya sebagai
indonesischer Sprachforscher (peneliti bahasa Indonesia). Tulisan-tulisan
Brandstetter pada kurun waktu sebelumnya (1893-1908) yang disebutnya
Malaio-polynesische Forschungen (studi [bahasa] Melayu Polinesia), mulai 1908
dinamai ulang menjadi Monographien zur indonesischen Sprachforschung
(monograf-monograf mengenai riset bahasa Indonesia). Walaupun demikian,
"bahasa Indonesia" yang dimaksud oleh Brandstetter lebih luas
daripada sekadar bahasa di Hindia Belanda saja, melainkan juga mencakup
bahasa-bahasa Filipina, bahasa Madagaskar, "mulai dari Formosa hingga ke
Madagaskar", oleh karena itu penggunaan istilah Indonesia oleh kalangan
lingustik tidak memiliki konotasi geopolitis yang sama dengan masa sekarang,
melainkan sebagai cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat atau
Austronesia Barat. Penelitian Brandstetter tentang Bahasa Indonesia telah diterbitkan
dalam bahasa Inggris pada tahun 1916 (empat esai), dan satu di antaranya telah
diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada 1956. Esai-esai itu mempengaruhi
perkembangan ilmu linguistik Austronesia. Tentang ketertarikannya, ia
menyebutkan pengaruh Niemann, Hurgronje, Adriani, dan Conant:
"Dengan
begitu bertahun-tahun saja telah mempeladjari berbagai teks dalam bahasa
Indonesia, mula-mula dibawah pimpinan Niemans, kemudian sendiri sadja. Kalau
teks-teks itu tiada memuaskan, maka saja – oleh sebab tak pernah mengundjungi
Indonesia – berhubungan dengan kaum penjelidik jang telah berpuluh-puluh tahun
diam disana, untuk memperoleh keterangan dengan lisan, terutama dengan Snouck Hurgronje,
Adriani dan Conant."
Penggunaan
istilah "bahasa Indonesia" dalam pengertian modern, yaitu seperti
dalam pemikiran Suryaningrat, baru muncul setelah 1918, dan dipakai dalam
karya-karya, a.l.: Adriaanse (1918), Jonkman (1918), Ratu Langie (1918). Secara
internasional, istilah tersebut mulai digunakan luas pada 1920-an, seperti
dalam Weber (1922), dan Congres International Pour la Paix di Paris (1926)
0 comments:
Posting Komentar