Era kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan
Mendengar
kabar bahwa Jepang tidak lagi mempunyai kekuatan untuk membuat keputusan
seperti itu pada 16 Agustus, Soekarno membacakan "Proklamasi" pada
hari berikutnya. Kabar mengenai proklamasi menyebar melalui radio dan selebaran
sementara pasukan militer Indonesia pada masa perang, Pasukan Pembela Tanah Air
(PETA), para pemuda, dan lainnya langsung berangkat mempertahankan kediaman
Soekarno.
Pada
18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik
Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan
menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian
dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara
hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan
baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri dari 8
provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan
Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua)
dan Nusa Tenggara.
Perang
kemerdekaan
Dari
1945 hingga 1949, persatuan kelautan Australia yang bersimpati dengan usaha
kemerdekaan, melarang segala pelayaran Belanda sepanjang konflik ini agar
Belanda tidak mempunyai dukungan logistik maupun suplai yang diperlukan untuk
membentuk kembali kekuasaan kolonial.
Usaha
Belanda untuk kembali berkuasa dihadapi perlawanan yang kuat. Setelah kembali
ke Jawa, pasukan Belanda segera merebut kembali ibukota kolonial Batavia,
akibatnya para nasionalis menjadikan Yogyakarta sebagai ibukota mereka. Pada 27
Desember 1949 (lihat artikel tentang 27 Desember 1949), setelah 4 tahun
peperangan dan negosiasi, Ratu Juliana dari Belanda memindahkan kedaulatan
kepada pemerintah Federal Indonesia. Pada 1950, Indonesia menjadi anggota ke-60
PBB.
Demokrasi
parlementer
Tidak
lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baru yang terdiri dari
sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab
kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan
sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil
susah dicapai.
Peran
Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara
sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih
menginginkan negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang
menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.Demokrasi Parlementer, adalah
suatu demokrasi yang menempatkan kedudukan badan legislatif lebih tinggi
daripada badan eksekutif. Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana
Menteri. Perdana menteri dan menteri-menteri dalam kabinet diangkat dan
diberhentikan oleh parlemen. Dalam demokrasi parlementer Presiden menjabat
sebagai kepala negara.
Demokrasi
Terpimpin
Pemberontakan
yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang
dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru,
melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden
Soekarno secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat
sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui
banyak hambatan.
Dari
1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah
label "Demokrasi Terpimpin". Dia juga menggeser kebijakan luar negeri
Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting
negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun
Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada
tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi
Gerakan Non-Blok.
Pada
akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada
negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam
negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet
dan China, dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada
partai komunis seperti di negara-negara lainnya.
Nasib Irian Barat
Pada
saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan
barat pulau Nugini (Papua), dan mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri
dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961.
Negosiasi
dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal,
dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember
sebelum kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada
1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan
perbincangan rahasia dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York
pada Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya
pada 1 Mei 1963.
Konfrontasi
Indonesia-Malaysia
Soekarno
menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut adalah
sebuah "rencana neo-kolonial" untuk mempermudah rencana komersial
Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan Federasi Malaysia,
hal ini dianggap akan memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di
kawasan Asia dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk
memengaruhi perpolitikan regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui
kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetap Dewan Keamanan
PBB, presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri negara Indonesia dari
keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan
Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB dan GANEFO sebagai tandingan Olimpiade.
Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara
pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).
Gerakan 30 September
Hingga
1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno
untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno,
memulai kampanye untuk membentuk "Angkatan Kelima" dengan
mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
Partai
Komunis Indonesia
Pada 30 September
1965, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya
kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI.
Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas
kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini
untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang
dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada 1966 mencapai
setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi di Jawa dan Bali.
0 comments:
Posting Komentar