Era Orde Baru
Setelah Soeharto menjadi Presiden, salah satu pertama yang
dilakukannya adalah
mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia
pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud
untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam
kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28
September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada 1968, MPR
secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan
dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978,
1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden Soeharto
memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis
mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh
Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan
perkembangan ekonomi (Pelita) sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya
melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasihat
dari ahli ekonomi didikan Barat. Selama masa pemerintahannya,
kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara
besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di
Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada
tahun 1970-an dan 1980-an.
Irian Jaya
Setelah menolak
supervisi dari PBB, pemerintah Indonesia melaksanakan "Act of Free
Choice" (Aksi Pilihan Bebas) di Irian Jaya pada 1969 di mana 1.025 wakil
kepala-kepala daerah Irian dipilih dan kemudian diberikan latihan dalam bahasa
Indonesia. Mereka secara konsensus akhirnya memilih bergabung dengan Indonesia.
Sebuah resolusi Sidang Umum PBB kemudian memastikan perpindahan kekuasaan
kepada Indonesia. Penolakan terhadap pemerintahan Indonesia menimbulkan
aktivitas-aktivitas gerilya berskala kecil pada tahun-tahun berikutnya setelah
perpindahan kekuasaan tersebut. Dalam atmosfer yang lebih terbuka setelah 1998,
pernyataan-pernyataan yang lebih eksplisit yang menginginkan kemerdekaan dari
Indonesia telah muncul.
Timor Timur
Dari 1596 hingga 1975, Timor Timur adalah sebuah jajahan Portugis
di pulau Timor yang dikenal sebagai Timor Portugis dan dipisahkan dari pesisir
utara Australia oleh Laut Timor. Akibat kejadian politis di Portugal, pejabat
Portugal secara mendadak mundur dari Timor Timur pada 1975. Dalam pemilu lokal
pada tahun 1975, Fretilin, sebuah partai yang dipimpin sebagian oleh
orang-orang yang membawa paham Marxisme, dan UDT, menjadi partai-partai
terbesar, setelah sebelumnya membentuk aliansi untuk mengkampanyekan
kemerdekaan dari Portugal.
Pada 7 Desember 1975, pasukan Indonesia masuk ke Timor Timur dalam
sebuah operasi militer yang disebut Operasi Seroja. Indonesia, yang mempunyai
dukungan material dan diplomatik, dibantu peralatan persenjataan yang
disediakan Amerika Serikat dan Australia, berharap dengan memiliki Timor Timur
mereka akan memperoleh tambahan cadangan minyak dan gas alam, serta lokasi yang
strategis.
Pada masa-masa awal, pihak militer Indonesia (ABRI) membunuh
hampir 200.000 warga Timor Timur — melalui pembunuhan, pemaksaan kelaparan dan
lain-lain. Banyak pelanggaran HAM yang terjadi saat Timor Timur berada dalam
wilayah Indonesia.
Pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur memilih untuk memisahkan
diri dari Indonesia dalam sebuah pemungutan suara yang diadakan PBB. Sekitar
99% penduduk yang berhak memilih turut serta; 3/4-nya memilih untuk merdeka.
Segera setelah hasilnya diumumkan, dikabarkan bahwa pihak militer Indonesia
melanjutkan pengrusakan di Timor Timur, seperti merusak infrastruktur di daerah
tersebut.
Pada Oktober 1999, MPR membatalkan dekret 1976 yang
mengintegrasikan Timor Timur ke wilayah Indonesia, dan Otorita Transisi PBB
(UNTAET) mengambil alih tanggung jawab untuk memerintah Timor Timur sehingga
kemerdekaan penuh dicapai pada Mei 2002 sebagai negara Timor Leste.
Krisis
ekonomi
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan
ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau
terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor
lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan
perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para
mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa
yang meluas, serta ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR, Soeharto
mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk
masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden,
B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
0 comments:
Posting Komentar