Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh
meningkatnya jaringan perdagangan di luar kepulauan Nusantara. Pedagang dan
bangsawan dari kerajaan besar Nusantara biasanya adalah yang pertama mengadopsi
Islam. Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah
sekarang), dan Kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur. Pada
akhir abad ke-13, Islam telah berdiri di Sumatera Utara, abad ke-14 di timur
laut Malaya, Brunei, Filipina selatan, di antara beberapa abdi kerajaan di Jawa
Timur, abad ke-15 di Malaka dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang
Malaysia). Meskipun diketahui bahwa penyebaran Islam dimulai di sisi barat
Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang ditemukan tidak menunjukkan gelombang
konversi bertahap di sekitar setiap daerah Nusantara, melainkan bahwa proses
konversi ini rumit dan lambat.
Meskipun menjadi salah satu perkembangan yang paling
signifikan dalam sejarah Indonesia, bukti sejarah babak ini terkeping-keping
dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke
Indonesia sangat terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa
kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara kala
itu. Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini,
adalah batu nisan dan beberapa kesaksian peziarah, tetapi bukti ini hanya dapat
menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu
tertentu. Bukti ini tidak bisa menjelaskan hal-hal yang lebih rumit seperti
bagaimana gaya hidup dipengaruhi oleh agama baru ini, atau seberapa dalam Islam
mempengaruhi masyarakat. Dari bukti ini tidak bisa diasumsikan, bahwa karena
penguasa saat itu dikenal sebagai seorang Muslim, maka proses Islamisasi daerah
itu telah lengkap dan mayoritas penduduknya telah memeluk Islam; namun proses konversi
ini adalah suatu proses yang berkesinambungan dan terus berlangsung di
Nusantara, bahkan tetap berlangsung sampai hari ini di Indonesia modern. Namun
demikian, titik balik yang jelas terjadi adalah ketika Kerajaan Hindu Majapahit
di Jawa dihancurkan oleh Kerajaan Islam Demak. Pada 1527, pemimpin perang
Muslim Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa yang baru ditaklukkannya sebagai
"Jayakarta" (berarti "kota kemenangan") yang akhirnya
seiring waktu menjadi "Jakarta". Asimilasi budaya Nusantara menjadi
Islam kemudian meningkat dengan cepat setelah penaklukan ini.
Awal sejarah
Peta lokasi kesultanan samudra pasai |
Bukti sejarah penyebaran Islam di Nusantara terkeping-keping
dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke
Indonesia terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa kesimpulan
yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara.[1]:3 Bukti utama,
setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan
kesaksian beberapa peziarah, tetapi hal ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat
Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Baik pemerintah
kolonial Hindia Belanda maupun Republik Indonesia lebih memilih situs
peninggalan Hindu dan Buddha di Pulau Jawa dalam alokasi sumber daya mereka
untuk penggalian dan pelestarian purbakala, kurang memberi perhatian pada
penelitian tentang awal sejarah Islam di Indonesia. Dana penelitian, baik
negeri maupun swasta, dihabiskan untuk pembangunan masjid-masjid baru, daripada
mengeksplorasi yang lama.
Sebelum Islam mendapat tempat di antara masyarakat
Nusantara, pedagang Muslim telah hadir selama beberapa abad. Sejarawan Merle
Ricklefs (1991) mengidentifikasi dua proses tumpang tindih dimana Islamisasi
Nusantara terjadi: antara orang Nusantara mendapat kontak dengan Islam dan
dikonversi menjadi muslim, dan/atau Muslim Asia asing (India, China, Arab, dll)
menetap di Nusantara dan bercampur dengan masyarakat lokal. Islam diperkirakan
telah hadir di Asia Tenggara sejak awal era Islam. Dari waktu khalifah ketiga
Islam, 'Utsman' (644-656) utusan dan pedagang Muslim tiba di China dan harus
melewati rute laut Nusantara, melalui Nusantara dari dunia Islam. Melalui hal
inilah kontak utusan Arab antara tahun 904 dan pertengahan abad ke-12
diperkirakan telah terlibat dalam negara perdagangan maritim Sriwijaya di
Sumatra.
Kesaksian awal tentang kepulauan Nusantara terlacak dari
Kekhalifahan Abbasiyah, menurut kesaksian awal tersebut, kepulauan Nusantara
adalah terkenal di antara pelaut Muslim terutama karena kelimpahan komoditas
perdagangan rempah-rempah berharga seperti Pala, Cengkeh, Lengkuas dan banyak
lainnya.
Kehadiran Muslim asing di Nusantara bagaimanapun tidak
menunjukkan tingkat konversi pribumi Nusantara ke Islam yang besar atau
pembentukan negara Islam pribumi di Nusantara.[1]:3 Bukti yang paling dapat
diandalkan tentang penyebaran awal Islam di Nusantara berasal dari tulisan di
batu nisan dan sejumlah kesaksian peziarah. Nisan paling awal yang terbaca
tertulis tahun 475 H (1082 M), meskipun milik seorang Muslim asing, ada
keraguan apakah nisan tersebut tidak diangkut ke Jawa di masa setelah tahun tersebut.
Bukti pertama Muslim pribumi Nusantara berasal dari Sumatera Utara, Marco Polo
dalam perjalanan pulang dari China pada tahun 1292, melaporkan setidaknya satu
kota Muslim,[4] dan bukti pertama tentang dinasti Muslim adalah nisan
tertanggal tahun 696 H (1297 M), dari Sultan Malik al-Saleh, penguasa Muslim
pertama Kesultanan Samudera Pasai, dengan batu nisan selanjutnya menunjukkan
diteruskannya pemerintahan Islam. Kehadiran sekolah pemikiran Syafi'i, yang
kemudian mendominasi Nusantara dilaporkan oleh Ibnu Battutah, seorang peziarah
dari Maroko, tahun 1346. Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah menulis
bahwa penguasa Samudera Pasai adalah seorang Muslim, yang melakukan kewajiban
agamanya sekuat tenaga. Madh'hab yang digunakannya adalah Imam Syafi'i dengan
kebiasaan yang sama ia lihat di India.
Menurut wilayah
Pada awalnya sejarawan meyakini bahwa Islam menyebar di
masyarakat Nusantara dengan cara yang umumnya berlangsung damai, dan dari abad
ke-14 sampai akhir abad ke-19 Nusantara melihat hampir tidak ada aktivitas
misionaris Muslim terorganisirNamun klaim ini kemudian dibantah oleh temuan
sejarawan bahwa beberapa bagian dari Jawa, seperti Suku Sunda di Jawa Barat dan
kerajaan Majapahit di Jawa Timur ditaklukkan oleh Muslim Jawa dari Kesultanan
Demak. Kerajaan Hindu-Buddha Sunda Pajajaran ditaklukkan oleh kaum Muslim di
abad ke-16, sedangkan bagian pesisir-Muslim dan pedalaman Jawa Timur yang
Hindu-Buddha sering berperang.mendominasi bagian utara Sumatera dan mengkonversi
penduduknya menjadi Islam. Penyebaran terorganisir Islam juga terbukti dengan
adanya Wali Sanga (sembilan orang suci) yang diakui mempunyai andil besar dalam
Islamisasi Nusantara secara sistematis selama periode ini
Malaka
Didirikan sekitar awal abad ke-10 , negara perdagangan
Melayu Kesultanan Malaka (sekarang bagian Malaysia) didirikan oleh Sultan
Parameswara, adalah, sebagai pusat perdagangan paling penting di kepulauan Asia
Tenggara, pusat kedatangan Muslim asing, dan dengan demikian muncul sebagai
pendukung penyebaran Islam di Nusantara. Parameswara sendiiri diketahui telah dikonversi
ke Islam, dan mengambil nama Iskandar Shah setelah kedatangan Laksamana Cheng
Ho yang merupakan Suku Hui muslim dari negeri China. Di Malaka dan di tempat
lain batu-batu nisan bertahan dan menunjukkan tidak hanya penyebaran Islam di
kepulauan Melayu, tetapi juga sebagai agama dari sejumlah budaya dan penguasa
mereka pada akhir abad ke-15.
Sumatera Utara
Masjid di sumatra utara dengan arsitektur menyerupai minagkabau |
Bukti yang lebih kuat mendokumentasikan transisi budaya yang
berlanjut berasal dari dua batu nisan akhir abad ke-14 dari Minye Tujoh di
Sumatera Utara, masing-masing dengan tulisan Islam tetapi dengan jenis karakter
India dan lainnya Arab. Berasal dari abad ke-14, batu nisan di Brunei,
Trengganu (timur laut Malaysia) dan Jawa Timur adalah bukti penyebaran Islam.
Batu Trengganu memiliki dominasi bahasa Sansekerta atas kata-kata Arab,
menunjukkan representasi pengenalan hukum Islam. Menurut Ying-yai Sheng-lan:
survei umum pantai samudra (1433) yang ditulis oleh Ma Huan, pencatat sejarah
dan penerjemah Cheng Ho: "negara-negara utama di bagian utara Sumatra
sudah merupakan Kesultanan Islam. Pada tahun 1414, ia (Cheng Ho) mengunjungi
Kesultanan Malaka, penguasanya Iskandar Shah adalah Muslim dan juga warganya,
dan mereka percaya dengan sangat taat".
Di Kampong Pande, Banda Aceh terdapat batu nisan Sultan
Firman Syah, cucu dari Sultan Johan Syah, yang memiliki sebuah prasasti yang
menyatakan bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kesultanan Aceh Darussalam dan bahwa
kota itu didirikan pada hari Jumat, 1 Ramadhan (22 April 1205) oleh Sultan
Johan Syah setelah ia menaklukkan Kerajaan Hindu-Buddha Indra Purba yang
beribukota di Bandar Lamuri.
Pembentukan kerajaan-kerajaan Islam lebih lanjut di bagian
Utara pulau Sumatera didokumentasikan oleh kuburan-kuburan akhir abad ke-15 dan
ke-16 termasuk sultan pertama dan kedua Kesultanan Pedir (sekarang Pidie),
Muzaffar Syah, dimakamkan 902 H (1497 M) dan Ma'ruf Syah, dimakamkan 917 H
(1511 M). Kesultanan Aceh didirikan pada awal abad ke-16 dan kemudian akan
menjadi negara yang paling kuat di utara Pulau Sumatra dan salah satu yang
paling kuat di seluruh kepulauan Melayu. Sultan pertama Kesultanan Aceh adalah
Ali Mughayat Syah yang nisannya bertanggal tahun 936 H (1530 M).
Pada 1520, Ali Mughayat Syah memulai kampanye militer untuk
mendominasi bagian utara Sumatera. Dia menaklukkan Daya, dan mengkonversi
orang-orangnya ke Islam. Penaklukannya berlanjut ke bawah pantai timur, seperti
Pidie dan Pasai menggabungkan beberapa daerah penghasil emas dan lada.
Penambahan daerah-daerah tersebut akhirnya menyebabkan ketegangan internal
dalam Kesultanan Aceh, karena kekuatan Aceh adalah sebagai bandar perdagangan,
yang kepentingan ekonominya berbeda dari wilayah-wilayah bandar produksi.
Buku ahli pengobatan Portugis Tome Pires yang
mendokumentasikan pengamatannya atas Jawa dan Sumatera dari kunjungannya tahun
1512-1515, dianggap salah satu sumber yang paling penting tentang penyebaran
Islam di Nusantara. Pada saat tersebut, menurut Piers, kebanyakan raja di
Sumatera adalah Muslim, dari Aceh dan ke selatan sepanjang pantai timur ke
Palembang, para penguasanya adalah Muslim, sementara sisi selatan Palembang dan
di sekitar ujung selatan Sumatera dan ke pantai barat, sebagian besar bukan. Di
kerajaan lain Sumatera, seperti Pasai dan Minangkabau penguasanya adalah Muslim
meskipun pada tahap itu warga mereka dan orang-orang di daerah tetangga bukan.
Bagaimanapun, dilaporkan oleh Pires bahwa agama Islam terus memperoleh penganut
baru.
Setelah kedatangan rombongan kolonial Portugis dan
ketegangan yang mengikuti tentang kekuasaan atas perdagangan rempah-rempah,
Sultan Aceh Alauddin al-Kahar (1539-1571) mengirimkan dutanya ke Sultan
Kesultanan Utsmaniyah, Suleiman I tahun 1564, meminta dukungan Utsmaniyah melawan
Kekaisaran Portugis. Dinasti Utsmani kemudian dikirim laksamana mereka,
Kurtoğlu Hızır Reis. Dia kemudian berlayar dengan kekuatan 22 kapal membawa
tentara, peralatan militer dan perlengkapan lainnya. Menurut laporan yang
ditulis oleh Laksamana Portugis Fernão Mendes Pinto, armada Utsmaniyah yang
pertama kali tiba di Aceh terdiri dari beberapa orang Turki dan kebanyakan
Muslim dari pelabuhan Samudera Hindia
Jawa Tengah dan Jawa Timur
Masjid agung demak, kerajaan islam pertama di jawa |
Prasasti-prasasti dalam aksara Jawa Kuno, bukan bahasa Arab,
ditemukan pada banyak serangkaian batu nisan bertanggal sampai 1369 M di Jawa
Timur, menunjukkan bahwa mereka hampir pasti adalah Jawa pribumi, bukan Muslim
asing. Karena dekorasi rumit dan kedekatan dengan lokasi bekas ibukota kerajaan
Hindu-Buddha Majapahit, Louis-Charles Damais (peneliti dan sejarawan)
menyimpulkan bahwa makam ini adalah makam orang-orang Jawa pribumi yang sangat
terhormat, bahkan mungkin keluarga kerajaan.Hal ini menunjukkan bahwa beberapa
elit Kerajaan Majapahit di Jawa telah memeluk Islam pada saat Majapahit yang
merupakan Kerajaan Hindu-Buddha berada di puncak kejayaannya.
Ricklefs (1991) berpendapat bahwa batu-batu nisan Jawa timur
ini, berlokasi dan bertanggal di wilayah non-pesisir Majapahit, meragukan
pandangan lama bahwa Islam di Jawa berasal dari pantai dan mewakili oposisi
politik dan agama untuk kerajaan Majapahit. Sebagai sebuah kerajaan dengan
kontak politik dan perdagangan yang luas, Majapahit hampir pasti telah
melakukan kontak dengan para pedagang Muslim, namun kemungkinan adanya abdi
dalem keraton yang berpengalaman untuk tertarik pada agama kasta pedagang masih
sebatas dugaan. Sebaliknya, guru Sufi-Islam yang dipengaruhi mistisisme dan
mungkin mengklaim mempunyai kekuatan gaib, lebih mungkin untuk diduga sebagai
agen konversi agama para elit istana Jawa yang sudah lama akrab dengan aspek
mistisisme Hindu dan Buddha
Pada awal abad ke-16, Jawa Tengah dan Jawa Timur, daerah di
mana suku Jawa hidup, masih dikuasai oleh raja Hindu-Buddha yang tinggal di
pedalaman Jawa Timur di Daha (sekarang Kediri). Namun daerah pesisir seperti
Surabaya, telah ter-Islamisasi dan sering berperang dengan daerah pedalaman,
kecuali Tuban, yang tetap setia kepada raja Hindu-Buddha. Beberapa wilayah di
pesisir tersebut adalah wilayah penguasa Jawa yang telah berkonversi ke Islam,
atau wilayah Tionghoa Muslim, India, Arab dan Melayu yang menetap dan
mendirikan negara perdagangan mereka di pantai. Menurut Pires, para pemukim
asing dan keturunan mereka tersebut begitu mengagumi budaya Hindu-Buddha Jawa
sehingga mereka meniru gaya tersebut dan dengan demikian mereka menjadi "Jawa".
Perang antara Muslim-pantai dan Hindu-Buddha-pedalaman ini juga terus berlanjut
lama setelah jatuhnya Majapahit oleh Kesultanan Demak, bahkan permusuhan ini
juga terus berlanjut lama setelah kedua wilayah tersebut mengadopsi Islam.
Kapan orang-orang di pantai utara Jawa memeluk Islam
tidaklah jelas. Muslim Tionghoa, Ma Huan, utusan Kaisar Yongle,[4] mengunjungi
pantai Jawa pada 1416 dan melaporkan dalam bukunya, Ying-yai Sheng-lan: survei
umum pantai samudra (1433), bahwa hanya ada tiga jenis orang di Jawa: Muslim
dari wilayah barat Nusantara, Tionghoa (beberapa adalah Muslim) dan Jawa yang
bukan Muslim.[10] Karena batu-batu nisan Jawa Timur adalah dari Muslim Jawa
lima puluh tahun sebelumnya, laporan Ma Huan menunjukkan bahwa Islam mungkin
memang telah diadopsi oleh sebagian abdi dalem istana Jawa sebelum orang Jawa
pesisir.
Sebuah nisan Muslim bertanggal 822 H (1419 M) ditemukan di
Gresik, pelabuhan di Jawa Timur dan menandai makam Maulana Malik Ibrahim. Namun
bagaimanapun, dia adalah orang asing non-Jawa, dan batu nisannya tidak
memberikan bukti konversi pesisir Jawa. Namun Malik Ibrahim, menurut tradisi
Jawa adalah salah satu dari sembilan rasul Islam di Jawa (disebut Wali Sanga)
meskipun tidak ada bukti tertulis ditemukan tentang tradisi ini. Pada abad
ke-15-an, Kerajaan Majapahit yang kuat di Jawa berada di penurunan. Setelah
dikalahkan dalam beberapa pertempuran, kerajaan Hindu terakhir di Jawa jatuh di
bawah meningkatnya kekuatan Kesultanan Demak pada tahun 1520.
Jawa Barat
Suma Oriental ("Dunia Timur") yang ditulis Tome
Pires melaporkan juga bahwa Suku Sunda di Jawa Barat bukanlah Muslim di
zamannya, dan memang memusuhi Islam.Sebuah penaklukan oleh Muslim di daerah ini
terjadi pada abad ke-16. Dalam studinya tentang Kesultanan Banten, Martin van
Bruinessen berfokus pada hubungan antara mistik dan keluarga kerajaan,
mengkontraskan bahwa proses Islamisasi dengan yang yang berlaku di tempat lain
di Pulau Jawa: "Dalam kasus Banten, sumber-sumber pribumi mengasosiasikan
"tarekat" tidak dengan perdagangan dan pedagang, tetapi dengan raja,
kekuatan magis dan legitimasi politik. Ia menyajikan bukti bahwa Sunan Gunung
Jati diinisiasi ke dalam aliran "Kubra", "Shattari", dan
"Naqsyabandiyah" dari sufisme.
Daerah lain
Tidak ada bukti dari penerapan Islam oleh orang Nusantara
sebelum abad ke-16 di daerah luar Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Kesultanan
Ternate dan Tidore di Maluku, dan Kesultanan Brunei dan Semenanjung Melayu.
Legenda Nusantara dan Melayu
Meskipun kerangka waktu bagi masuknya Islam di wilayah
Indonesia dapat ditentukan secara luas, sumber-sumber utama sejarah tidak bisa
menjawab banyak pertanyaan yang spesifik, sehingga kontroversi terus
mengelilingi topik ini. Sumber-sumber seperti tidak menjelaskan mengapa
konversi signifikan orang pribumi Nusantara menjadi Islam tidak dimulai hingga
beberapa abad bahkan setelah para Muslim asing mengunjungi dan tinggal di
Nusantara. Sumber-sumber ini juga tidak cukup menjelaskan asal usul dan
perkembangan "aliran" istimewa Islam di Nusantara, atau bagaimana
Islam menjadi agama yang dominan di Nusantara. Untuk mengisi kekosongan celah
sejarah ini, banyak peneliti mencari referensi ke legenda-legenda Melayu dan
Nusantara tentang konversi pribumi Nusantara ke Islam.
Ricklefs berpendapat bahwa meskipun legenda-legenda ini
bukanlah catatan historis yang dapat diandalkan tentang peristiwa yang
sebenarnya, legenda-legenda ini berharga dalam memberi titik terang mengenai
beberapa peristiwa, melalui wawasan mereka yang tersebar di masyarakat, ke
dalam sifat pembelajaran dan kekuatan magis, latar belakang asing dan hubungan
perdagangan para guru Islam awal, dan proses konversi yang bergerak dari atas
(golongan elit keraton) ke bawah. Legenda ini juga memberikan wawasan tentang
bagaimana generasi muda Nusantara (Indonesia) melihat proses Islamisasi ini.
Sumber-sumber ini termasuk:
- Hikayat Raja-raja Pasai - sebuah teks Bahasa Melayu Kuno yang menceritakan bagaimana Islam datang ke negeri "Samudra" (Kesultanan Samudera Pasai, sekarang di Aceh) di mana Kerajaan Islam di Nusantara yang pertama didirikan.
- Sejarah Melayu - teks Bahasa Melayu Kuno, yang seperti juga Hikayat Raja-raja Pasai menceritakan kisah konversi Samudra, tetapi juga bercerita tentang konversi Raja Malaka (Parameswara).
- Babad Tanah Jawi - nama generik yang digunakan untuk sejumlah besar manuskrip, di mana konversi ke dalam bahasa Jawa yang pertama diatributkan pada Wali Sanga ("sembilan orang suci").
- Sejarah Banten - Sebuah teks Jawa yang berisi cerita konversi.
Dari teks-teks yang disebutkan di sini, teks-teks Melayu
menggambarkan proses konversi ke Islam sebagai ritual pelepasan yang
signifikan, ditandai dengan tanda-tanda formal dan nyata dari ritual konversi,
seperti sunat, pengakuan iman, dan mengadopsi nama Arab. Di sisi lain, ketika
peristiwa-peristiwa magis masih memainkan peran penting dalam kesaksian Jawa
tentang Islamisasi, peristiwa magis dalam konversi ke Islam menurut kesaksian
teks-teks Melayu tidak ditemukan. Hal ini menunjukkan proses konversi Jawa ke
Islam lebih merupakan "menyerap" Islam ketimbang berpindah, hal ini
konsisten dengan elemen sinkretisme agama yang secara signifikan lebih besar
dalam Islam kontemporer Jawa dibandingkan terhadap Islam yang relatif lebih
ortodoks di Sumatera dan Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia)
0 comments:
Posting Komentar